KATA MUTIARA

CITA - CITA ITU HARUS DIGAPAI DENGAN KERJA KERAS


Perkawinan adalah sesuatu yang sakral serta suci dalam agama yang terjadi dalam kehidupan seorang manusia dalam menjalanin kehidupannya yang didalamnya tidak hanya menyangkut kehidupan kedua belah pihak calon mempelai pria dan wanita saja tetapi juga menyangkut keluarga dan masyarakat. Dianggap suci  suatu perkawinan dikarenakan didalamnya terdapat faedah – faedah agama dengan faedah – faedah perkawinan. Ini juga suatu contoh dimana manusia tidak dapat hidup sendiri, sehingga mereka harus bergantung pada orang lain yang dalam hal ini suatu perkawinan dapat membentuk suatu keluarga.

Jika berdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa : “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Dalam hukum negara ada suatu perkawinan yang dinamakan Perkawinan campuran, yang artinya adalah suatu perkawinan dimana seorang pria / wanita WNA (Warga Negara Asing) yang menikah dengan pria / wanita WNI (Warga Negara Indonesia), sehingga sudah merupakan hal yang sudah tidak asing  lagi di negara Indonesia.

Hal ini sesuai dengan Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 : ”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”. Hingga dapat dikatakan perkawinan campuran merupakan suatu yang legal dan sudah diatur dalam undang – undang mengenai pengertiannya.

Di Indonesia ada suatu peraturan yang mengatur dimana jika pasangan yang merupakan perkawinan campuran melahirkan seorang anak maka kewarganegaraan anak tersebut diatur oleh undang – undang yang berlaku.

Pertama, kita membahas terlebih dahulu pasal lama mengenai hal ini yaitu UU Nomor 62 Tahun 1958,  yang isinya adalah anak yang lahir dari “perkawinan campur” hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan dan ditentukan hanya mengikuti  kewarganegaraan ayahnya. Ketentuan dalam UU Nomor 62 Tahun 1958, dianggap tidak memberikan perlindungan hukum yang cukup bagi anak yang lahir dari perkawinan campur dan diskriminasi hukum terhadap WNI Perempuan. Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi warga negara Indonesia dan bisa menjadi warga negara asing, karena :
1. Anak yang lahir dari perkawinan campuran antara seorang Pria WNI dengan Perempuan WNA, maka kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya (WNI)
2. Anak yang lahir dari perkawinan campuran antara seorang Perempuan WNI dengan Pria WNA, maka anak tersebut sejak lahir dianggap sebagai WNA, sehingga harus dibuatkan kartu Izin Tinggal Sementara.
Maka dari itu dalam upaya memberikan perlindungan kepada warga Negara Indonesia  yang melakukan pernikahan dengan warga asing serta menghilangkan diskriminasi bagi WNI perempuan, lahirlah Undang-undang Kewarganegaraan yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006. Undang-Undang kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut :
1.       Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
2.       Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
3.       Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
4.       Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian. Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang.

Jadi inti dalam hal ini anak adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam UU Kewarganegaraan yang baru, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya. Dengan lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru, anak yang lahir dari perkawinan seorang Perempuan WNI dengan Pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang  Pria WNI dengan Perempuan  WNA,  diakui sebagai Warga Negara Indonesia.
UU kewarganegaraan yang baru ini lebih memberikan jaminan perlindungan bagi warga negara Indonesia. WNI yang kawin campur, dapat tetap berstatus WNI termasuk anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan campur tersebut. Anak-anak hasil kawin campur boleh memiliki kewarganegaraan ganda  dan setelah anak berumur 18 tahun, anak memilih sendiri kewarganegaraannya (asas kewarganegaraan ganda terbatas).  Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.  Jadi, Undang – undang baru ini lebih memberikan perlindungan, dan status kewarganegaraan anak yang dilahirkan dari “ perkawinan campur” juga jadi lebih jelas.

0 komentar:

Posting Komentar